“..sunyi, masihkah tersisa di ruang tidurku kisah tentang kupu-kupu yang
menari antara harum bunga-bunga dan rerumputan saat kubuka jendela
pagi usai kulacuri mimpi malamku sementara iblis telah menaruh matahari
di atap rumahku? kurindu bulir embun meresap segar di mataku yang
kabur bersama pekat dan kentalnya lumpur. di kota ini aku mendengkur
dalam pengabnya jeruji keinginan dan rantai-rantai harapan yang
berpaling di setiap arti. kujumpai tinggallah reklame-reklame raksasa
kesenjangan dan bermacam pamflet kejahatan yang bergelak
menjulur-julurkan lidah meniup terompet kemenangan di atas bangkai
harga diri yang di lelang untuk cacing, lalat-lalat, belatung dan
burung nazar. kota ini surga bagi sampah-sampah dusta dan pembodohan,
kejujuran menyerupai seonggok fosil manusia purba yang dipajang di
etalase museum. dan sejarah yang kubaca hanyalah cangkir dan
piring-piring kotor yang berantakan di meja bekas perjamuan kemarin
yang tak sempat dicuci dan dirapikan. akankah esok hari kemerdekaan itu
meniupkan hakekatnya di ufuk kelahiranku dan memberikan hak-haknya
pada tuntutan setiap kewajiban sebagai ketentuan hidup yang lapang?
telah kupuja cinta yang dijajakan sang bebal di biolik kemiskinan
dengan rasa pahit yang menyumbat kerongkonganku dan bencana yang
menistai segala doa di tikar persujudan. haruskah pengkhianatan itu
terus menjadi berhala dan menanamkan kaidah-kaidahnya untuk membangun
kuil masa depan? lalu, apa yang disebut kebenaran jika kerusakan yang
dicipta? sunyi, ceritakanlah arti hidup yang luhur pada
serigala-serigala yang memakai jubah gembala tentang makhluk yang
diwarisi kodrat kesempurnaan, jangan kau diam!..”
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar